Irma Maghfirah, Ivana P Dewi, Louisa F Kusumawardhani, Fatimah Alzahra’, Anggun Laksmi
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular,
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, RSUD Dr. Soetomo, Surabaya

Serangan jantung atau sindrom koroner akut (SKA) adalah gangguan jantung serius yang terjadi akibat terhambatnya aliran darah ke otot jantung. Penyebab utama kondisi ini adalah adanya sumbatan pembuluh darah koroner yang mensuplai darah ke jantung akibat adanya proses aterosklerosis. Aterosklerosis adalah kondisi penyempitan, pengerasan, dan penebalan arteri karena adanya plak yang merupakan penumpukan kolesterol, endapan lemak, kalsium, dan fibrin pada dinding bagian dalam arteri (endothelium). Plak dapat menyebabkan penyumbatan mulai dari sumbatan parsial sampai dengan total. Hal tersebut tentunya dapat mengganggu peredaran darah ke otot jantung. Tanpa darah yang cukup, jantung menjadi kekurangan oksigen dan nutrisi penting yang dibutuhkan agar jantung dapat bekerja dengan baik. Saat ini terjadi, penderita akan merasakan nyeri dada yang disebut angina. Penderita mungkin tidak sadar sebenarnya ia tengah mengalami gejala awal serangan jantung.
Menurut Badan Kesehatan Dunia, WHO, kematian akibat penyakit tidak menular (PTM) diperkirakan akan terus meningkat di seluruh dunia, peningkatan terbesar akan terjadi di negara-negara menengah dan miskin. Lebih dari dua pertiga (70%) dari populasi global meninggal akibat penyakit tidak menular seperti kanker, penyakit jantung, stroke, dan diabetes. Dalam jumlah total, pada tahun 2030 diprediksi akan ada 52 juta jiwa kematian per tahun karena PTM, naik 9 juta jiwa dari 38 juta jiwa pada saat ini. SKA merupakan suatu masalah kardiovaskular yang utama karena menyebabkan angka perawatan rumah sakit dan angka kematian yang tinggi (1). Pada tahun 2008, penyakit kardiovaskular menyebabkan 17,3 juta kematian dengan 7,3 juta diantaranya diakibatkan oleh SKA sedangkan 6,2 juta angka kematian lainnya diakibatkan oleh stroke (2). Hal ini menjadikan penyakit kardiovaskular sebagai penyebab kematian terbanyak pada PTM yaitu sebesar 31%, tertinggi setelah angka kematian ibu dan anak yang menjadi permasalahan utama di bidang kesehatan. Infark myocard akut (IMA) juga menyebabkan berbagai permasalahan selain kematian otot jantung sebagai dampak langsung, diantaranya gangguan kontraktilitas jantung, gangguan irama jantung, dan proses remodeling yang pada tahap lanjut berakibat pada kegagalan jantung (3). Hal ini menjadikan IMA sebagai salah satu fokus utama permasalahan penyakit tidak menular WHO (2). Oleh karenanya, pemahaman mengenai tatalaksana awal serangan jantung penting untuk diketahui.
Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) atau resusitasi jantung paru (RJP) adalah tindakan pertolongan pertama bagi orang-orang yang mengalami henti jantung dan/atau pernapasan. Pada kondisi henti jantung, peredaran darah yang membawa oksigen ke otak dan organ penting lain di dalam tubuh terhambat. Hal ini dapat memicu kerusakan otak sehingga mengakibatkan seseorang meninggal dalam hitungan menit. CPR dilakukan dengan teknik kompresi dada dan pemberian napas buatan. Dengan pemberian CPR, diharapkan darah yang mengandung oksigen dapat kembali mengalir ke otak dan seluruh tubuh.
Beberapa saat yang lalu terdapat artikel yang dibagikan di berbagai media sosial berjudul “Bagaimana bertahan dari serangan jantung seorang diri” (4). Di dalam artikel tersebut digambarkan skenario hipotetis kondisi saat mengalami serangan jantung. Disebutkan bahwa saat mengalami serangan jantung penderita dapat dapat membantu diri mereka sendiri dengan batuk dengan kuat dan berulang-ulang. Teknik ini sering disebut dengan “cough CPR” atau CPR batuk. Fakta bahwa serangan jantung adalah salah satu penyebab kematian paling sering di seluruh dunia dan bahwa CPR batuk merupakan prosedur yang menjanjikan untuk membantu menyelamatkan diri dari kemungkinan serangan jantung tanpa bantuan orang lain membuatnya menjadi prosedur yang cukup menarik. Nyeri dada juga merupakan gejala serangan jantung yang paling umum yang dapat diikuti oleh gejala mati rasa atau sakit di lengan, punggung, rahang, atau leher, dan disertai dengan pusing atau mual. Gejala tersebut merupakan gejala yang dapat dikenali dini pada kecurigaan serangan jantung sebagaimana terdapat pada gambar 1.
Beberapa saat yang lalu terdapat artikel yang dibagikan di berbagai media sosial berjudul “Bagaimana bertahan dari serangan jantung seorang diri” (4). Di dalam artikel tersebut digambarkan skenario hipotetis kondisi saat mengalami serangan jantung. Disebutkan bahwa saat mengalami serangan jantung penderita dapat dapat membantu diri mereka sendiri dengan batuk dengan kuat dan berulang-ulang. Teknik ini sering disebut dengan “cough CPR” atau CPR batuk. Fakta bahwa serangan jantung adalah salah satu penyebab kematian paling sering di seluruh dunia dan bahwa CPR batuk merupakan prosedur yang menjanjikan untuk membantu menyelamatkan diri dari kemungkinan serangan jantung tanpa bantuan orang lain membuatnya menjadi prosedur yang cukup menarik. Nyeri dada juga merupakan gejala serangan jantung yang paling umum yang dapat diikuti oleh gejala mati rasa atau sakit di lengan, punggung, rahang, atau leher, dan disertai dengan pusing atau mual. Gejala tersebut merupakan gejala yang dapat dikenali dini pada kecurigaan serangan jantung sebagaimana terdapat pada gambar 1.

Gambar 1. Tanda dan Gejala Nyeri Dada pada Serangan Jantung

Dikatakan bahwa pasien memiliki sepuluh detik untuk melakukan sesuatu sebelum serangan jantung memburuk. Tentu saja, mengingat fakta bahwa sebagian besar serangan jantung terjadi ketika seseorang sendirian, tampaknya merupakan ide yang logis untuk menyebarkan informasi tentang apa yang harus dilakukan ketika tidak ada orang di sekitar untuk membantu mereka. Memanggil 119 juga dapat sangat sulit jika penderita sudah mulai pingsan dan kehilangan kesadaran. Dan tentu saja, pelatihan CPR tidak termasuk pedoman tentang bagaimana melakukannya untuk diri sendiri, dan CPR reguler bukanlah sesuatu yang dapat diterapkan pada diri sendiri pada keadaan yang tidak stabil. Namun, CPR batuk dapat membantu dalam situasi ini. CPR batuk dilakukan dengan batuk kuat dan dengan cara yang ritmis. Setiap batuk harus memanjang dan sangat dalam. Agar ini bisa tercapai, nafas yang sangat dalam juga harus diambil untuk memaksa batuk keluar. Setiap siklus napas dalam dan batuk harus dilakukan tiap dua detik sampai bantuan datang. Jika penderita merasa jantungnya berdetak kembali normal, CPR batuk harus dihentikan (5).
Namun apa hubungan batuk dengan serangan jantung? Pada dasarnya, bernapas dalam bukan hanya sesuatu yang membantu penderita membuat batuk lebih dalam, tetapi juga memungkinkan tambahan aliran oksigen ke paru-paru. Ini membantu terutama jika pasien mulai mengalami kesulitan bernafas. Gerakan batuk juga menekan jantung yang segera memicu sirkulasi darah. Diharapkan jantung pada akhirnya bisa mendapatkan kembali ritme normalnya, sehingga lebih mudah bagi seseorang yang terkena serangan jantung untuk meminta bantuan dengan lebih efektif (6).
Sejak pertama kali ditulis pada tahun 1999, artikel ini telah mendapat bebagai respon. British Heart Foundation, Dewan Resusitasi Inggris, dan American Heart Association mengeluarkan rekomendasi yang menentang penggunaan batuk CPR pada kondisi serangan jantung (7–9). Berikut ini beberapa alasannya:
  • Prosedur ini dinilai tidak berguna dalam setting pra-rumah sakit. Kursus CPR selalu menekankan bahwa salah satu tanda utama keadaan darurat adalah tidak responsifnya pasien, sehingga tidak mungkin pasien dapat melakukan CPR batuk.
  • CPR batuk sangat membantu dalam kasus aritmia, tetapi kasus ini sangat berbeda dari serangan jantung. Ketika ini dilakukan untuk mereka yang tiba-tiba menderita aritmia, seorang perawat atau dokter harus hadir sehingga mereka dapat memberikan instruksi yang tepat tentang bagaimana dan kapan harus batuk.
  • Kondisi nyeri dapat disebabkan oleh bebagai sebab yang lain. Oleh karena itu, pada beberapa kondisi medis lainnya CPR batuk dapat menjadi berbahaya.
  • Pikiran untuk melakukan CPR batuk dapat memberikan rasa aman palsu. Sehingga jika terjadi keadaan darurat, hal ini dapat menunda prosedur darurat yang diperlukan yang dapat membuat situasi semakin buruk.
Pencarian PubMed tentang CPR batuk menghasilkan 60 artikel. Dari jumlah tersebut, terdapat 13 laporan kasus yang menggambarkan penggunaan teknik batuk yang diterapkan saat timbulnya aritmia jantung yang tidak stabil, untuk menjaga tekanan darah dan kesadaran atau mengembalikan pasien kembali ke irama sinus (10). Penting untuk dicatat bahwa dalam semua laporan kasus tersebut dilakukan dalam lingkungan rumah sakit yang terkontrol dan termonitor, seperti laboratorium kateter jantung. Studi oleh LoMauro dan Aliverti memberikan informasi baru mengenai efek batuk terhadap aliran darah. Penulis menemukan bahwa pada kelompok sehat, batuk dalam dan kuat dapat menghasilkan fluktuasi tekanan intratoraks dan intrabdominal yang memindahkan volume darah yang signifikan melalui rongga dada dan mekanisme pompa abdomen. Meskipun mekanisme ini dapat memberikan ide untuk mempertahankan perfusi otak pada awal aritmia jantung yang tidak stabil, namun penulis berhati-hati untuk merekomendasikan penggunaan CPR batuk (11).
Fakta bahwa artikel mengenai CPR batuk dapat menimbulkan risiko serius pada penderita SKA oleh karena dapat menyebabkan keterlambatan dalam menghubungi layanan darurat sehingga menyebabkan kondisi yang lebih buruk. Sehingga diperlukan edukasi mengenai apa yang perlu dilakukan pada kondisi serangan jantung. Cara paling tepat saat mengalami serangan jantung adalah menghubungi rumah sakit terdekat atau ambulans. Sebisa mungkin hubungi rumah sakit besar yang memiliki peralatan lengkap untuk tindakan reperfusi. Peningkatan angka morbiditas dan mortalitas dari SKA yang cukup signifikan, berakibat pada perubahan kebijakan dan penanganan medis SKA di masyarakat dengan tetap memegang prinsip pentingnya managemen awal SKA (12). Pentingnya penanganan awal diakibatkan oleh peningkatan resiko kematian dengan keterlambatan pendeteksian dan pemberian terapi awal selama proses iskemia miokard. Semakin lambat penanganan SKA (penyumbatan koroner), akan berakibat terhadap risiko kerusakan jaringan otot jantung, yang mengawali frase “time is muscle” (13). Semakin lama penderita dibiarkan tanpa pertolongan, semakin berat kerusakan otot jantung yang berakhir pada gagal jantung permanen dan kematian. Hal ini kemudian menjadi prinsip kebijakan penanganan SKA melalui pemahaman terhadap rantai kelangsungan hidup atau chains of survival sebagaimana terdapat pada gambar 2 (14).

Gambar 2. Rantai Penanganan SKA atau chains of survival (AHA, 2015)

Dalam rantai penanganan tersebut, diketahui pentingnya keterlibatan peran masyarakat dalam tatalaksana awal SKA. Terlebih, sebagian besar tingkat kematian diakibatkan karena kurangnya pehamanan gejala awal dan tatalaksana awal SKA. Keterlibatan peran masyarakat dalam penanganan SKA yaitu melalui peningkatan pemahaman faktor risiko dan penanggulangan SKA, pemahaman gejala SKA, serta penanganan awal pasien IMA dalam masyarakat (12). Faktor risiko SKA dibedakan menjadi faktor risiko yang dapat diubah (modifiable) dan tidak dapat diubah (non-modifiable) (12). Faktor risiko yang dapat diubah diantaranya hipertensi (tekanan darah >140/80), diabetes mellitus type 2, dislipidemia, dan merokok. Faktor risiko yang tidak dapat diubah diantaranya usia dan riwayat keluarga menderita penyakit kardiovaskular (SKA dan stroke). Penanggulangan SKA diantaranya melalui pencapaian target kontrol dan pencegahan penyakit tidak menular WHO. Penanggulangan dilakukan dengan meningkatkan kesadaran, keteraturan pengobatan, dan keterlibatan kegiatan kemasyarakatan melalui upaya promotif, kuratif dan rehabilitatif khususnya pada pelayanan primer. Upaya ini perlu didukung dengan kebijakan penyediaan AED pada fasilitas umum sebagaimana telah menjadi protokol dasar penatalaksanaan SKA di masyarakat. Program pelatihan Basic Life Support (BLS) atau bantuan hidup dasar mulai diterapkan kepada masyarakat umum guna mendekatkan penanganan utama gawat darurat, khususnya dalam hal ini penanganan awal SKA di masyarakat. Berdasarkan perkembangan guideline tatalaksana SKA, penanganan masyarakat awam bahkan memiliki rantai prosedural tersendiri,
Pengenalan dan respon awal tentu bukan menjadi perkara mudah dikarenakan beberapa faktor yang menjadi penghalang tercapainya akses dini terjadi di masyarakat. Keterlambatan tersebut termasuk waktu yang diperlukan dalam memahami gejala SKA, keputusan untuk memperoleh penanganan medis, penyediaan transportasi, serta permasalahan lain seperti tingkat pendidikan masyarakat, budaya, serta keterbatasan akses kesehatan (12). Penting untuk mengetahui konsep bahwa semakin lama waktu untuk mencapai akses penanganan medis, semakin buruk prognosis terhadap kejadian SKA. Oleh karenanya, dengan memahami konsep dasar SKA, kita dapat mengesampingkan mitos mengenai cough CPR dalam penanganan awal SKA secara mandiri. Bagaimanapun, akses awal terhadap tenaga medis yang berkompeten, salah satunya melalui sambungan telepon ke 119 merupakan langkah awal yang dapat dilakukan selain melakukan prosedur basic life support dan penggunaan Automatic External Defibrillation (AED) bagi masyarakat terlatih sebagaimana yang telah banyak dijumpai di fasilitas umum.

References
  • RI KK. Penyakit Tidak Menular. 2012.
  • WHO. Cardiovascular Disease (CVD). 2017.
  • PDSKI. Buku Panduan Kursus Bantuan Hidup Dasar. 2015.
  • Staff S. No THow to Survive a Heart Attack When Alone. 1999.
  • Commerford PJ, Lawrenson J. Cough — Cardiopulmonary resuscitation — a useful manoeuvre. Resuscitation. 1992 Aug;24(1):89–90.
  • Criley JM, Blaufuss AH, Kissel GL. Cough-Induced Cardiac CompressionSelf-administered Form of Cardiopulmonary Resuscitation. JAMA. 1976;236(11):1246–50.
  • Foundation BH. Could something called ‘cough CPR’ save my life?
  • (UK) RC. Statement on Cough CPR.
  • American Heart Association. Cough CPR. 2017.
  • Saba SE, David SW. Sustained consciousness during ventricular fibrillation: Case report of cough cardiopulmonary resuscitation. Cathet Cardiovasc Diagn. 1996 Jan;37(1):47–8.
  • LoMauro A, Aliverti A. Blood Shift During Cough: Negligible or Significant? Front Physiol. 2018;9:501.
  • Goel PK, Srivastava SK, Ashfaq F, Gupta PR, Saxena PC, Agarwal R, et al. A study of clinical presentation and delays in management of acute myocardial infarction in community. Indian Heart J [Internet]. 2012;64(3):295–301. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/S0019-4832(12)60090-X
  • Kori Kingsbury. Management of Acute Coronary Syndromes, Best Practice Recommendations for Remote Communities. Cardiac Care Network. 2013.
  • American Heart Association. Guidelines 2015 CPR & ECC. Circulation. 2015;132(5):293.
RSUD Dr. Soetomo

RSUD Dr. Soetomo, Pemerintah Provinsi Jawa Timur

Alamat : Jl. Mayjend. Prof. Dr. Moestopo No. 6-8, Kecamatan Gubeng, Kelurahan Airlangga, Kota Surabaya 60286.

Telepon : Central : +62 31 5501078; Subkoordinator Hukum, Hubungan Masyarakat dan Pemasaran : +62 31 5501076 (Hubungan Masyarakat); Instalasi Gawat Darurat : +62 31 5501299; Instalasi Rawat Jalan : +62 31 5501488; Instalasi Graha Amerta : +62 31 5020599; Instalasi PPJT : +62 31 5501316; Instalasi GBPT : +62 31 5501875; Instalasi GPDT : +62 31 5501525.

No. WhatsApp : +62 812 1670 0101 (Hanya Menerima Pesan).

Email : kontak@rsudrsoetomo.jatimprov.go.id